Halaman

Jumat, 11 Juli 2014


Keliling Nusantara: Dengan Cara Yang Berbeda
(Part-2)

.... Pulau Sumba, walau berupa perjalanan tugas supervisi Stube-HEMAT, tetap bersyukur terus menjaga asa keliling Nusantara.

Tahun 2011, bulan Agustus, tanggal 12 menginjakkan kaki di bumi Sumba!! Kesan pertama adalah panas matahari full. Oh, hampir lupa, sehari sebelumnya, pulau Bali menambah daftar pulau Nusantara yang aku kunjungi. Tak banyak cerita memang, karena hanya dari Airport Ngurah Rai jalan kaki menuju hotel, dan keesokan harinya balik ke Airport.

Pesawat F-100 maskapai Merpati (yang kini sudah tiada terbang) mengantarku dari Ngurah Rai menuju Airport Umbu Mehang Kunda di Waingapu. Pas take-off pesawat F-100 ini moncong pesawat lebih mendongak dibandingkan B 737.

Sumba, Matawai Amahu, Padandjara Hamu....

Sumba, tak banyak informasi yang aku punya. Namun ada beberapa yang aku ingat, misalnya kalau masuk rumah (bertamu) pasti diberi sirih pinang, ada juga kain tenun khas Sumba. Dari Airport Umbu Mehang Kunda langsung menuju Merlin Hotel, dan mendapatkan yang kelas atas, maksudnya di lantai atas, di tengah kota, dekat taman kota, ada monumen (yang awalnya) aku tak tahu apa maksudnya dengan bentuk seperti itu....hahaha....tapi membuat penasaran J
Matawai amahu, padandjara hamu, itu kata-kata yang menarik. Jangan tanya artinya karena aku tidak tahu, mungkin artinya mata air yang jernih, padang rumput yang berharga. Entahlah....

Bersyukur....

Baru tiba di Waingapu langsung disambut karnaval!! Horeeee.... meskipun tidak tahu karnaval yang seperti apa. Di Sumba, khususnya di Waingapu, tiap Agustus untuk merayakan kemerdekaan Indonesia pasti diadakan karnaval. Ada barisan berkelompok, baik itu instansi-instansi pemerintah, kantor dinas pemerintah, marching-band SMA Negeri Waingapu, tak ketinggalan komunitas masyarakat yang ada di Sumba, misalnya komunitas Bali dengan mengusung patung karya seni mereka yang kuat dalam detil patung, ada juga komunitas Sabu dengan keunikan baju tenun dan pernak-pernik di tangan dan kaki, tak ketinggalan pasukan Pramuka ambil bagian karnaval.

Sejenak mataku tertuju pada satu kelompok...... Wooow... di tengah rombongan ada komunitas peduli lingkungan yang beranggotakan anak muda membawa karung plastik. Mereka ikut karnaval tapi koq cuma membawa karung plastik pikirku..., tapi tunggu..., kenapa mereka mengambil sampah plastik di sepanjang jalan yang mereka lewati? Ooo....salut dan salut buat mereka. Sampah-sampah plastik yang dibuang oleh kelompok-kelompok sebelumnya mereka pungut dan dikumpulkan di karung plastik mereka. Contoh tindakan yang baik untuk para penonton dan para birokrat di Waingapu (sebenarnya di Sumba Timur dinas kebersihan dan pertamanan ada atau tidak ya?).

Sekarang saatnya jalan-jalan, pertama ke Pasar Waingapu. Tetapi koq pasar ada di sepanjang jalan.... Heran juga mendengar cerita pedagang, sudah lebih tiga tahun pembangunan pasar belum selesai juga. Sebenarnya kalau kios, eh sebenarnya bukan kios, tapi lebih tepat disebut lapak, berada di pinggir jalan karena lebih praktis untuk para pembeli yang bisa ‘drive-thru’, eh, sudah tahu apa arti drive thru? Para pembeli tak perlu turun dari motor bisa langsung menawar, bayar dan ambil barang, haha....tak perlu parkir.

Ketika berjalan-jalan di pasar pinggir jalan, samping hotel Merlin, kudengar dua orang berbicara dengan suara keras, kuamati mereka, ingin tahu apa yang mereka bicarakan, aku tak tahu artinya memang, karena mereka berbicara menggunakan bahasa Sumba. Apakah mereka berselisih?? Semakin keras mereka bicara satu sama lain sambil acung jari dan tangan. Waduh, jangan-jangan akan berkelahi, mending cari aman saja beralih tempat. Tiba-tiba mereka diam dan tersenyum! Lho!!! Koq mereka senyum dan satu orang mengambil uang dan diberikan? Oh, ternyata mereka tadi tawar menawar!! Tapi apa perlu sampai keras bicaranya, otot di leher sampai keluar? Ah, entahlah....

Banyak hal yang aku lihat, aku rasa, aku dengar, aku temukan. I love Sumba, ingat ini I love Sumba, pasti akan datang lagi, PASTI!!. Berkeliling dari Waingapu ke pelabuhan rakyat makan ikan bakar (pertama kali makan ikan bakar di tepi pantai). Kejadian konyol sewaktu makan, karena pertama kali makan ikan, belum cukup terampil untuk memilih mana daging mana tulang. Tiba-tiba terasa ada ‘sesuatu’ yang nyangkut di kerongkongan, busyeettt, duri nyangkut!! Waduh, malu kalau sampai orang tahu, toleh kiri toleh kanan, minum jeruk tak mengubah keadaan, makin sakit makin serba salah, mulai keringat mengalir dari dahi menahan nyeri atau malu aku tak tahu...

Tiba-tiba kulihat ada minuman Sprite, minuman bersoda, semoga menyelamatkanku, gleg..gleg. Tik, tik, tik, tik, tik, lima detik berlalu tidak ada perubahan. Tik, tik, tik, tik, tik, sepuluuh detik berlalu pun tak ada yang berubah, duri masih enggan berpindah dari kerongkongan. Tik, tik,tik, tik, tik, detik kelimabelas akhirnya, hoeeee, akhirnya bersendawa, membebaskan kerongkonganku dari duri yang kurang kerjaan, lanjut makan.

Akhirnya pulang ke hotel Merlin, diantar Pdt. Johny Umbulado, “terima kasih dan selamat malam, Pak.”

Di Waingapu, untuk jalan-jalan putar kota tak perlu kuatir lampu ‘traffic-light,’ karena cuma ada 2 lho, di pertigaan Payeti dan perempatan jalan Adam Malik km 3, berdekatan dengan SPBU alias Pertamina. Teman-teman Sumba lebih akrab dengan istilah ‘pertamina’ daripada SPBU dan pom bensin.

Petualangan di Sumba menuju ke arah Lewa, masih di Sumba Timur tapi kecamatan paling barat (kalau tidak salah). Perjalanan Waingapu – Kambajawa yang masih cukup ramai, dan tiang-tiang listrik kemudian mata dimanjakan ketika memasuki jalan yang berkelok-kelok, naik turun bukit, berkulit tanah bebatuan berwarna kecoklatan, berumput semak yang mulai pudar hijaunya dan kanan tebing kiri jurang. Di beberapa lokasi bukit-bukit sudah digempur dan jurang ditimbun untuk pelebaran jalan. Tiba-tiba ...waduh, sang sopir, namanya Pdt. Dominggus Umbu Deta mengatakan “aku ora nduwe SIM lho.” Keringatku langsung membanjir, bukan karena sang sopir bisa bahasa Jawa, tapi tidak punya SIM padahal perjalanan masih panjang dan jalan tidak mudah dilalui.....ah sudahlah, serahkan diri dalam doa (haha...)

Brrrmmmm....., tiba-tiba dari tikungan muncul sesuatu, warnanya pink. Muncullah bus a la Sumba, unik juga bentuk bagian depannya, mirip kepala ikan. Di kaca depan ada tulisan Gentleman (siapa tahu ada teman dari Sumba yang pernah naik bis ini). Oh ya, tak sempat mencatat nama bus tadi. Berharap suatu saat nanti bisa naik bus ini. Make a wish.

Setelah beberapa tikungan di daerah Makamenggit, di tepi jalan aku lihat orang-orang berhenti di pinggir jalan, menunggu tumpangankah? Oh bukan, kedatanganku di bulan Agustus bersamaan dengan musim kemarau yang terjadi di Sumba. Di kawasan tertentu air sangat sedikit dan bahkan tidak ada. Karena itu orang tua, muda, anak-anak, laki-laki, perempuan berjuang mencari air demi menyambung hidup. Kalela menjadi salah satu tempat tujuan mengambil air. Inilah (salah satu) potret permasalahan (nanti ada potret-potret yang lainnya) di Sumba. Kekeringan yang menjadi hal yang jamak terjadi di Sumba. Akankah keadaan ini terus menerus terjadi??

Setelah dua jam, sampai juga di Kecamatan Nggoa, singgah di rumah internet. Eh, papasan lagi dengan bus yang warnanya pink, tulisan di kaca depan The Doctor (pasti ada yang kenal dengan sopirnya). Ternyata bus itu namanya “Crystal” jurusan Waitabula – Waingapu PP.

Oh iya, hampir lupa, ada kejadian yang menarik, cukup mengejutkan memang, ketika sampai di suatu tempat yang aku tidak tahu namanya, tampak kerumunan orang di pinggir jalan, jangan-jangan....

Namun, Pdt Dominggus yang mengemudikan mobil malah menginjak rem, dan akhirnya mobil berhenti, dan, tiba-tiba.....

(bersambung di Part-3)


Love Sumba...
Matawai Amahu Padandjara Hamu....