Keliling
Nusantara: Dengan Cara Yang Berbeda
(Part-2)
.... Pulau Sumba, walau berupa
perjalanan tugas supervisi Stube-HEMAT, tetap bersyukur terus menjaga asa
keliling Nusantara.
Tahun 2011, bulan Agustus, tanggal 12
menginjakkan kaki di bumi Sumba!! Kesan pertama adalah panas matahari full. Oh, hampir lupa, sehari
sebelumnya, pulau Bali menambah daftar pulau Nusantara yang aku kunjungi. Tak
banyak cerita memang, karena hanya dari
Airport Ngurah Rai jalan kaki menuju hotel, dan keesokan harinya balik ke
Airport.
Pesawat F-100 maskapai Merpati (yang
kini sudah tiada terbang) mengantarku dari Ngurah Rai menuju Airport Umbu
Mehang Kunda di Waingapu. Pas take-off
pesawat F-100 ini moncong pesawat lebih mendongak dibandingkan B 737.
Sumba, Matawai Amahu, Padandjara Hamu....
Sumba, tak banyak informasi yang aku
punya. Namun ada beberapa yang aku ingat, misalnya kalau masuk rumah (bertamu)
pasti diberi sirih pinang, ada juga kain tenun khas Sumba. Dari Airport Umbu
Mehang Kunda langsung menuju Merlin Hotel, dan mendapatkan yang kelas atas, maksudnya
di lantai atas, di tengah kota, dekat taman kota, ada monumen (yang awalnya)
aku tak tahu apa maksudnya dengan bentuk seperti itu....hahaha....tapi membuat
penasaran J
Matawai
amahu, padandjara hamu, itu kata-kata yang menarik. Jangan tanya artinya
karena aku tidak tahu, mungkin artinya mata air yang jernih, padang rumput yang
berharga. Entahlah....
Bersyukur....
Baru tiba di Waingapu langsung disambut
karnaval!! Horeeee.... meskipun tidak tahu karnaval yang seperti apa. Di Sumba,
khususnya di Waingapu, tiap Agustus untuk merayakan kemerdekaan Indonesia pasti
diadakan karnaval. Ada barisan berkelompok, baik itu instansi-instansi
pemerintah, kantor dinas pemerintah, marching-band
SMA Negeri Waingapu, tak ketinggalan komunitas masyarakat yang ada di Sumba,
misalnya komunitas Bali dengan mengusung patung karya seni mereka yang kuat
dalam detil patung, ada juga komunitas Sabu dengan keunikan baju tenun dan
pernak-pernik di tangan dan kaki, tak ketinggalan pasukan Pramuka ambil bagian
karnaval.
Sejenak mataku tertuju pada satu
kelompok...... Wooow... di tengah rombongan ada komunitas peduli lingkungan
yang beranggotakan anak muda membawa karung plastik. Mereka ikut karnaval tapi
koq cuma membawa karung plastik pikirku..., tapi tunggu..., kenapa mereka mengambil
sampah plastik di sepanjang jalan yang mereka lewati? Ooo....salut dan salut
buat mereka. Sampah-sampah plastik yang dibuang oleh kelompok-kelompok
sebelumnya mereka pungut dan dikumpulkan di karung plastik mereka. Contoh
tindakan yang baik untuk para penonton dan para birokrat di Waingapu (sebenarnya
di Sumba Timur dinas kebersihan dan pertamanan ada atau tidak ya?).
Sekarang saatnya jalan-jalan, pertama ke
Pasar Waingapu. Tetapi koq pasar ada di sepanjang jalan.... Heran juga
mendengar cerita pedagang, sudah lebih tiga tahun pembangunan pasar belum
selesai juga. Sebenarnya kalau kios, eh sebenarnya bukan kios, tapi lebih tepat
disebut lapak, berada di pinggir jalan karena lebih praktis untuk para pembeli
yang bisa ‘drive-thru’, eh, sudah
tahu apa arti drive thru? Para pembeli tak perlu turun dari motor bisa langsung
menawar, bayar dan ambil barang, haha....tak perlu parkir.
Ketika berjalan-jalan di pasar pinggir
jalan, samping hotel Merlin, kudengar dua orang berbicara dengan suara keras,
kuamati mereka, ingin tahu apa yang mereka bicarakan, aku tak tahu artinya
memang, karena mereka berbicara menggunakan bahasa Sumba. Apakah mereka
berselisih?? Semakin keras mereka bicara satu sama lain sambil acung jari dan
tangan. Waduh, jangan-jangan akan berkelahi, mending cari aman saja beralih
tempat. Tiba-tiba mereka diam dan tersenyum! Lho!!! Koq mereka senyum dan satu
orang mengambil uang dan diberikan? Oh, ternyata mereka tadi tawar menawar!!
Tapi apa perlu sampai keras bicaranya, otot di leher sampai keluar? Ah,
entahlah....
Banyak hal yang aku lihat, aku rasa, aku
dengar, aku temukan. I love Sumba,
ingat ini I love Sumba, pasti akan datang lagi, PASTI!!. Berkeliling dari
Waingapu ke pelabuhan rakyat makan ikan bakar (pertama kali makan ikan bakar di
tepi pantai). Kejadian konyol sewaktu makan, karena pertama kali makan ikan,
belum cukup terampil untuk memilih mana daging mana tulang. Tiba-tiba terasa
ada ‘sesuatu’ yang nyangkut di kerongkongan, busyeettt, duri nyangkut!! Waduh,
malu kalau sampai orang tahu, toleh kiri toleh kanan, minum jeruk tak mengubah
keadaan, makin sakit makin serba salah, mulai keringat mengalir dari dahi
menahan nyeri atau malu aku tak tahu...
Tiba-tiba kulihat ada minuman Sprite,
minuman bersoda, semoga menyelamatkanku, gleg..gleg. Tik, tik, tik, tik, tik,
lima detik berlalu tidak ada perubahan. Tik, tik, tik, tik, tik, sepuluuh detik
berlalu pun tak ada yang berubah, duri masih enggan berpindah dari
kerongkongan. Tik, tik,tik, tik, tik, detik kelimabelas akhirnya, hoeeee, akhirnya
bersendawa, membebaskan kerongkonganku dari duri yang kurang kerjaan, lanjut
makan.
Akhirnya pulang ke hotel Merlin, diantar
Pdt. Johny Umbulado, “terima kasih dan selamat malam, Pak.”
Di Waingapu, untuk jalan-jalan putar
kota tak perlu kuatir lampu ‘traffic-light,’
karena cuma ada 2 lho, di pertigaan Payeti dan perempatan jalan Adam Malik km
3, berdekatan dengan SPBU alias Pertamina. Teman-teman Sumba lebih akrab dengan
istilah ‘pertamina’ daripada SPBU dan pom bensin.
Petualangan di Sumba menuju ke arah
Lewa, masih di Sumba Timur tapi kecamatan paling barat (kalau tidak salah).
Perjalanan Waingapu – Kambajawa yang masih cukup ramai, dan tiang-tiang listrik
kemudian mata dimanjakan ketika memasuki jalan yang berkelok-kelok, naik turun
bukit, berkulit tanah bebatuan berwarna kecoklatan, berumput semak yang mulai
pudar hijaunya dan kanan tebing kiri jurang. Di beberapa lokasi bukit-bukit sudah
digempur dan jurang ditimbun untuk pelebaran jalan. Tiba-tiba ...waduh, sang
sopir, namanya Pdt. Dominggus Umbu Deta mengatakan “aku ora nduwe SIM lho.” Keringatku langsung membanjir, bukan karena
sang sopir bisa bahasa Jawa, tapi tidak punya SIM padahal perjalanan masih panjang
dan jalan tidak mudah dilalui.....ah sudahlah, serahkan diri dalam doa
(haha...)
Brrrmmmm....., tiba-tiba dari tikungan
muncul sesuatu, warnanya pink.
Muncullah bus a la Sumba, unik juga
bentuk bagian depannya, mirip kepala ikan. Di kaca depan ada tulisan Gentleman (siapa tahu ada teman dari
Sumba yang pernah naik bis ini). Oh ya, tak sempat mencatat nama bus tadi.
Berharap suatu saat nanti bisa naik bus ini. Make a wish.
Setelah beberapa tikungan di daerah
Makamenggit, di tepi jalan aku lihat orang-orang berhenti di pinggir jalan,
menunggu tumpangankah? Oh bukan, kedatanganku di bulan Agustus bersamaan dengan
musim kemarau yang terjadi di Sumba. Di kawasan tertentu air sangat sedikit dan
bahkan tidak ada. Karena itu orang tua, muda, anak-anak, laki-laki, perempuan
berjuang mencari air demi menyambung hidup. Kalela menjadi salah satu tempat
tujuan mengambil air. Inilah (salah satu) potret permasalahan (nanti ada
potret-potret yang lainnya) di Sumba. Kekeringan yang menjadi hal yang jamak
terjadi di Sumba. Akankah keadaan ini terus menerus terjadi??
Setelah dua jam, sampai juga di
Kecamatan Nggoa, singgah di rumah internet. Eh, papasan lagi dengan bus yang
warnanya pink, tulisan di kaca depan The Doctor (pasti ada yang kenal dengan
sopirnya). Ternyata bus itu namanya “Crystal”
jurusan Waitabula – Waingapu PP.
Oh iya, hampir lupa, ada kejadian yang
menarik, cukup mengejutkan memang, ketika sampai di suatu tempat yang aku tidak
tahu namanya, tampak kerumunan orang di pinggir jalan, jangan-jangan....
Namun, Pdt Dominggus yang mengemudikan
mobil malah menginjak rem, dan akhirnya mobil berhenti, dan, tiba-tiba.....
(bersambung di Part-3)
Love Sumba...
Matawai
Amahu Padandjara Hamu....