1000 Buku untuk Sumba
Di Laijanji, Wulla
Waijelu, Sumba Timur
Team ‘1000 Buku untuk
Sumba’ akan menuntaskan perjalanan hingga ujung timur pulau Sumba, di Lainjanji. Trustha Rembaka, Sukaningtyas, Elisabeth Uru Ndaya dan Apriana ditemani Cyprianus Ndawa Lu sebagai ‘guide’ mempersiapkan perjalanan menuju desa
Lainjanji, tempat tinggal Sipry.
Dari Kaliuda menuju Wulla
Waijelu kami tempuh malam hari (6/7/2015), sehingga tidak bisa melihat kondisi
sekitar kami, namun terbayar dengan suasana langit malam yang masih alami, tanpa
sinar lampu listrik tetapi berhias ratusan bintang-bintang di penjuru langit.
Perjalanan melewati jalan
aspal, kemudian berganti dengan jalan perkerasan batu dan pasir. Tak lama kemudian
segera berganti dengan jalan tanah berdebu namun masih cukup rata. Akhirnya
berbelok kanan, memasuki jalan setapak, mendaki dan turun tajam, Di saat suhu dingin
mulai menembus jaket yang kami pakai, di kiri kanan tampak pohon-pohon
berdiameter cukup besar dan semak-belukar mengiring jalan kami. “Ini jelas berada
di hutan” pikir kami.
Setelah beberapa saat
sampailah kami di sebuah perkampungan kecil yang didominasi rumah tradisional
Sumba, kami berhenti di sebuah rumah panggung yang cukup besar dan telah
ditunggu oleh beberapa orang. Ini pasti keluarga Sipry, nama akrab Cyprianus
Ndawa Lu.
Kami bercakap-cakap dan saling
memperkenalkan diri. Betapa sambutan yang hangat di tengah dingin yang seakan
menembus tulang. Keluarga Sipry menjamu kami dengan makan malam di tengah
suasana akrab dan kebersamaan.
Sungguh, keluarga besar
yang sangat ramah dan sahaja meski berada di ujung timur pulau Sumba dan jauh
dari hiruk pikuk kota. “Tuhan, kiranya berkatMU senantiasa mengalir untuk
keluarga besar ini” mohonku kepada Tuhan.
Esok paginya kami menuju
Mata Wai Mbana, ya, mata air panas. Berarti jalur air yang ada di dalam tanah
berada dekat dengan jalur panas bumi, apakah dekat dengan jalur vulkanik? Entahlah.


Di seberang sungai kami
melanjutkan dengan berjalan kaki menembus hutan dan kembali dihadang sungai dan
mau tidak mau harus menyeberangi sungai untuk mencapai mata air panas Mata Wai
Mbana.
Akhirnya kami tiba di lokasi
mata air panas, horeeee....... Memang benar, cukup panas. Kami bergantian untuk
membasuh wajah, tangan dan kaki dan menikmati suasana di tengah hutan yang
masih asri dan alami.


Sipry menceritakan kalau
di desa mereka ada pantai dan menawarkan untuk singgah di pantai tersebut.
Mereka menyebutkan pantai itu Watuparunu. Itu pantai yang kami idam-idamkan!
Karena sebelumnya hanya bisa menikmati gambar-gambarnya saja.

